SIC Episode 3 : PENTINGNYA KONSERVASI HIU



Sumber gambar: http://ontario-yours-to-uncover.blogspot.com/2011/06/help-put-stop-to-shark-fin-soup.html

Indonesia merupakan negara dengan Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah. Salah satu kekayaan SDA Indonesia berada di sektor Sumber Daya Laut. Diperkirakan lebih dari 75 jenis hiu ditemukan di perairan Indonesia dan sebagian besar dari jenis tersebut potensial untuk dimanfaatkan. Hampir seluruh bagian tubuh hiu dapat dijadikan komoditi, dagingnya dapat dijadikan bahan pangan bergizi tinggi (abon, bakso, sosis, ikan kering dan sebagainya), siripnya untuk ekspor dan kulitnya dapat diolah menjadi bahan industri kerajinan kulit berkualitas tinggi (ikat pinggang, tas, sepatu, jaket, dompet dan sebagainya) serta minyak hiu sebagai bahan baku farmasi atau untuk ekspor. Tanpa kecuali gigi, empedu, isi perut, tulang, insang dan lainnya masih dapat diolah untuk berbagai keperluan seperti bahan lem, ornamen, pakan ternak, bahan obat dan lain-lain.

Tercatat pada tahun 1998 ekspor hasil sirip ikan hiu di Indonesia ke berbagai negara mencapai 95.502.000 kg. Nilai ekonomi ikan hiu yang tinggi terkait dengan rasanya yang enak dan kandungannya sebagai bahan baku obat. Khasiat obat dari sirip hiu dikaitkan dengan adanya zat aktif pada tulang rawannya. Bukti ilmiah mula mula oleh Langer R yang melaporkan bahwa tulang rawan mempunyai daya anti neovaskularisasi, dan kemudian Lee A melaporkan bahwa tulang rawan dari ikan hiu kepala martil memiliki zat anti angiogenesis. Angiogenesis adalah proses pembentukan pembuluh darah baru yang dalam tumor berguna untuk memasok nutrisi bagi pertumbuhan tumor. Dengan demikian ada dugaan bahwa ikan hiu jenis yang lain juga mempunyai aktivitas anti angiogenesis meskipun mungkin kadarnya yang berbeda.

Kondisi tersebut menjadikan perburuan terhadap ikan hiu sangat gencar dilakukan di beberapa wilayah di Indonesia. Nelayan mengambil sirip ikan hiu dan untuk di ekspor ke luar negeri, seperti China, Taiwan, Hongkong, Jepang dan Korea. Sekitar 15 persen dari seluruh pasokan sirip hiu dan di dunia berasal dari Indonesia. Wilayah perburuan hiu terbesar di Indonesia terletak di perairan Raja Ampat dimana hampir 7 juta ekor ditangkap setiap tahunnya. Pada umumnya hiu di kawasan Raja Ampat diburu dan ditangkap oleh nelayan untuk diperjualbelikan terutama sirip hiu dimana Sirip-sirip hitam dijual hingga harga Rp 1 juta per kilogram, sementara sirip hiu yang berwarna putih di ujung dijual dengan harga Rp 1,5 juta per kilogram.

Tingginya permintaan pasar terhadap sirip hiu menyebabkan spesies tersebut terancam punah. Terlebih jika melihat siklus reproduksi ikan hiu yang cukup lama dan jumlah anak yang dilahirkan sangat sedikit. Siklus reproduksi hiu terbilang cukup panjang dan lama. Ikan hiu menjadi dewasa setelah tujuh sampai 15 tahun dan hanya melahirkan anak satu kali dalam dua sampai tiga tahun dengan jumlah anak antara satu sampai sepuluh. Spesies yang terancam punah ini merupakan jenis top predator atau posisi puncak dalam rantai makanan. Artinya, penangkapan dan perburuan besar-besaran terhadap hiu menyebabkan terganggunya keseimbangan rantai makanan dalam ekosistem laut. Ikan-ikan karnivora yang biasanya dimangsa oleh hiu akan bertambah banyak sehingga ikan-ikan kecil akan menurun jumlahnya secara drastis. Akibatnya, alga yang biasa dimakan oleh ikan-ikan kecil akan bertambah banyak dan mengganggu kesehatan karang. Ketika terumbu karang rusak, ikan-ikan kecil terancam punah, demikian pun ikan-ikan besar. Dengan kata lain, berkurangnya populasi hiu dan dalam jumlah banyak akan berdampak negatif bagi ketahanan pangan.

Sejumlah peraturan perundang-undangan di Indonesia sebenarnya sudah cukup banyak memberikan perhatian serius terhadap perlindungan satwa yang terancam punah termasuk di dalamnya perlindungan terhadap ikan hiu. Dalam PP nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Tumbuhan dan Satwa, hiu gergaji. Ketentuan yang sama juga terdapat dalam Keputusan Kementrian Kelautan dan Perikanan Nomor 18 tahun 2013 yang menetapkan status perlindungan ikan hiu paus, disusul dengan penetapan perlindungan hiu koboi dan hiu Martil sebagaimana dalam Keputusan Menteri Kelautan Perikanan Nomor 57 tahun 2014. Sedangkan dalam regulasi di tingkat daerah, perlindungan terhadap perburuan ikan hiu tidak banyak ditemukan. Status perlindungan terhadap ikan hiu hanya terdapat dalam Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Raja Ampat Nomor 9 Tahun 2012 tentang tentang Larangan Penangkapan Hiu, Pari Manta, dan jenis-jenis Ikan tertentu Di Perairan Laut Raja Ampat. Perda ini juga mencantumkan sanksi pidana apabila orang atau badan hukum terbukti melakukan pelanggaran baik melalui kesengajaan maupun kelalaian berupa ancaman pidana dan denda, hal ini diatur dalam Pasal 20 dan Pasal 21. Menariknya, selain dikenakan sanksi pidana dan denda, juga dikenakan sanksi sosial oleh masyarakat setempat yang tercantup pada pasal 22. Namun, permintaan akan kebutuhan sirip hiu yang semakin banyak mejadikan nelayan juga semakin bersemangat menangkapnya disamping harga jualnya yang sangat tinggi.

Upaya yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah upaya represif dan upaya preventif. Upaya represif dilakukan melalui penegakkan hukum dengan memberi sanksi yang sangat berat kepada pelaku penangkap ikan hiu an ikan pari. Sedangkan upaya preventif dilakukan dengan cara membuat wilayah konservasi ikan hiu dan melalui pendidikan dan penyadaran bagi masyarakat. Apabila upaya preventif dan represif gagal dilakukan, maka pemerintah dapat memberi sanksi lain berupa sanksi sosial sebagaimana telah diterapkan di perairan Raja Ampat oleh pemerintah daerah kabupaten Raja Ampat.

Sumber:

Aditya, Z. F. Sholahuddin A. 2016. Perlindungan Hukum Terhadap Ikan Hiu dan Ikan Pari Untuk Menjaga Keseimbangan Ekosistem Laut Indonesia. Legality. Vol 24(2) : 224-235.

Hardoko. 2001. Mempelajari Aktivitas Anti Angiogenesis dari Sirip Ikan Hiu Putih (Carcharhinus dussumieri). Maj. Kedok. Unibraw. Vol 18(1) : 46-50.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *