
Indonesia merupakan pengekspor udang terbesar ketiga didunia. Umumnya ekspor udang dalam bentuk tanpa kepala atau tanpa kulit, menyisahkan limbah pengolahan udang yang tinggi (30-40%, terdiri dari kulit, kepala dan ekor) yang dapat menimbulkan masalah pencemaran lingkungan bila tidak diolah dengan benar. Pemanfaatan limbah udang selama ini masih belum optimal, hanya sebagai pakan, petis dan kerupuk yang bernilai ekonomi rendah. Pemanfaatan lain limbah kulit udang, dapat dijadikan bahan untuk pembuatan chitin dan chitosan yang dimana bahan tersebut dapat dijadikan sebagai hand sanitizer alami. Kulit udang mengandung protein sebesar 25-40 %, chitin 20-30 % dan kalisium karbonat 45-50%. Chitin adalah polimer linier dengan rantai panjang tanpa rantai samping yang tersusun atas 2-asetamido-2- deoksi-β-D-glukosa yang berikatan glikosidik 1-4. Sedangkan chitosan terbentuk ketika beberapa gugus asetil dihilangkan dari chitin melalui proses deasetilasi parsial. Senyawa ini merupakan polisakarida yang dibentuk dari N-asetil-2-amino-2-deoksi-D-glukosa melalui ikatan β-(1,4) glikosida.
Chitosan mempunyai reaktivitas lebih tinggi daripada chitin karena memiliki gugus amina bebas yang bersifat nukleofil kuat. Hal ini menyebabkan chitosan lebih sering diaplikasikan dalam dunia industri, salah satunya yaitu hand sanitizer. Chitosan larut dalam pelarut organik (asam format, asam asetat, asam tartat dan asam sitrat) pada pH kurang dari 6,5. Kelarutan chitosan yang paling baik dalam larutan asam asetat 2% yang dipengaruhi oleh derajat deasetilasi dan rotasi spesifiknya. Bobot molekul yang tinggi dan panjangnya rantai chitosan yang mengakibatkannya sulit larut air. Disisi lain, kelarutan merupakan karakteristik penting untuk pemanfaatan chitosan. Keterbatasan kelarutan chitosan menyebabkan pemanfaatannya kurang optimal. Oleh karena itu, perlu dilakukan modifikasi dengan memutus rantai chitosan.
Salah satu metode depolimerisasi dengan menggunakan H2O2. Depolimerisasi ditentukan oleh konsentrasi dan suhu larutan H2O2. Suhu yang semakin meningkat akan mempercepat proses depolimerisasi rantai utama chitosan sehingga BM chitosan yang dihasilkan menurun. Semakin rendah BM chitosan maka tingkat kelarutannya semakin meningkat. Semakin tinggi konsentrasi H2O2 dapat mempercepat proses degradasi rantai utama chitosan dan juga mengakibatkan perubahan struktur kimia, seperti pembentukan ikatan karboksil. Chitosan larut air efektif sebagai antibakteri dibandingkan dengan chitosan alami, karena chitosan larut air memiliki derajat deasetilasi (DD) yang tinggi dan BM yang rendah. Semakin tinggi DD cenderung memiliki aktivitas antibakteri yang lebih kuat. Antibakteri adalah senyawa biologis atau kimia yang dapat mengganggu pertumbuhan dan aktivitas bakteri, khususnya bakteri yang merugikan manusia. Antibakteri dapat digunakan sebagai pencegahan terhadap berbagai infeksi bakteri pathogen seperti Escherichia coli dan Staphylococcus epidermidis. Pembuatan hand sanitizer chitosan ini dengan cara mencampurkan beberapa komponen seperti chitosan sebagai bahan aktif pada sediaan hand sanitizer tersebut, kemudian ditambahkan CH3COOH 1% sebagai pelarut chitosan, aquadest sebagai medium pendispersi, CMC 0,5% sebagai gelling agent, dan pengharum untuk menetralisir bau asam asetat sehingga menghasilkan sediaan dengan ukuran untuk masing-masing konsentrasi sebanyak 100 mL. Fisik dari sediaan gel hand sanitizer chitosan ini berwarna putih, dan beraroma bunga.
Sumber:
https://jurnal.ugm.ac.id/jfs/article/downloadSuppFile/38750/5760