Halo, Mariners! Apa kabarnya, nih? Tidak terasa ya kita sudah berada di akhir tahun dan di SIC terakhir ini kita akan membahas soal HABs loh, Mariners. Mariners sendiri tahu nggak apa itu HABs? Atau jangan-jangan Mariners baru denger nih soal HABs? Jadi gini Mariners, HABs itu singkatan Harmful Algae Blooms atau dalam Bahasa Indonesia disebut ledakan alga atau marak alga. Nah, HABs ini adalah fenomena alam dimana satu atau beberapa spesies fitoplankton (mikroalga) berkembang sangat pesat jauh melampaui kepadatan yang normal dan hal ini dapat mengakibatkan terjadinya perubahan warna di permukaan perairan akibat pigmen yang dihasilkan oleh jenis-jenis fitoplankton yang predominan saat itu. HABs juga dikenal sebagai red tide atau pasang merah, sebenarnya penggunaan nama fenomena ini kembali lagi tergantung dengan jenis mikroalga apa yang sedang mendominasi di wilayah perairan tersebut, namun secara umum HABs lebih sering digunakan.
Ledakan alga biasa terjadi karena beberapa faktor, salah satunya karena perairan dalam kondisi pengkayaan nutrien (eutrofikasi). Nutrien yang paling dominan mengakibatkan pengkayaan unsur hara adalah nitrat dan fosfat. Nitrat memiliki peran sebagai pemicu pertumbuhan fitoplankton sedangkan fosfat dapat berperan sebagai pembatas dalam pertumbuhan populasi fitoplankton. Kadar nutrien nitrat dan fosfat yang dibutuhkan bersifat komplementer, dimana tingginya kadar nitrat yang diperlukan harus diikuti dengan kadar fosfat dalam jumlah yang proporsional. Fenomena ini juga berkaitan dengan kondisi lingkungan yang mendukung, seperti kecukupan intensitas cahaya, kondisi suhu yang sesuai, dan pola arus yang terjadi. Peran unsur iklim terutama curah hujan dan hari hujan sebenarnya merupakan peranan secara tidak langsung terhadap fenomena HABs, akan tetapi berkaitan dengan kenaikan bahan organik atau nutrien di perairan sehingga akan tercapai kondisi eutrofikasi di perairan. Jadi curah hujan dan hari hujan sangat berkaitan erat dengan kondisi kadar nutrien di perairan. Mengapa? Ini karena air hujan yang mengalir dari daratan mengandung bahan mineral larutan dari produk-produk di daratan, contoh seperti pupuk yang digunakan di sektor pertanian yang banyak mengandung nitrat dan fosfat. Jadi, secara singkat jika suatu perairan mengalami eutrofikasi dan didukung oleh cukupnya intensitas cahaya serta kondisi suhu yang cocok bisa dipastikan bahwa pertumbuhan fitoplankton pada wilayah tersebut sangat cepat dan dapat memicu terjadinya HABs.
Marak alga ini merupakan fenomena yang dapat menimbulkan kerugian bagi ekosistem di sekitarnya, biota laut yang hidup didalamnya, maupun manusia yang hidup di wilayah pesisir. Dampak secara langsung dari HABs terhadap ikan yaitu mikroalga tersebut sangat merusak insang, baik secara mekanis ataupun melalui bahan kimia beracun yang dihasilkan seperti neurotoksin, hemolitik atau bahan penggumpal darah, yang dapat menyebabkan kerusakan fisiologi insang dan organ utama (seperti hati, usus, sistem pernapasan), bahkan dapat mengganggu proses osmoregulasi. Sebaliknya, dampak tidak langsung dari HABs adalah berkurangnya kadar oksigen dalam perairan tersebut akibat penggunaan oksigen yang berlebihan untuk respirasi dan pembusukan kumpulan fitoplankton. Tidak heran jika saat sedang terjadi fenomena HABs akan ditemukan kematian ikan secara massal dan biota hidup lainnya.
Kematian massal tersebut bisa terjadi jika perairan berada dalam kondisi eutrofikasi yang memicu terjadinya marak alga dan kondisi pasang terendah pada saat itu berlangsung lama dan secara bersama-sama. Kondisi perairan yang cukup tenang (no mixing) menyebabkan terbentuknya stratifikasi di perairan. Keadaan ini akan mengakibatkan perairan berada pada kondisi hypoxia (kadar O2 <2 ppm) dan selanjutnya akan terbentuk zona mematikan bersifat sementara (temporary dead zone) yang berdampak pada kematian ikan-ikan dan biota hidup lainnya yang ada di lokasi perairan. Dead zone atau kondisi anoxic akan terbentuk bila kadar oksigen terlarut telah mencapai nilai sangat rendah hingga menyentuh angka 0 ppm. Selain itu, fenomena marak alga juga menyebabkan kerugian dalam aspek ekonomi berupa kerugian industri perikanan dan masyarakat nelayan dengan menurunnya persentase hasil tangkapan ikan, serta menyebabkan penurunan nilai estetika perairan yang berdampak pada aktivitas parawisata bahari. Bahkan fenomena ini dikhawatirkan dapat mengakibatkan keracunan bagi manusia yang mengkonsumsi biota filter feeder seperti ikan dan moluska hasil panen dari perairan yang sedang mengalami HABs.
Terdapat beberapa jenis fitoplankton yang dapat menjadi “pelaku” dalam fenomena HABs, fitoplankton tersebut dapat dikelompokkan menjadi beberapa kategori seperti spesies yang berpotensi harmful dan bloom maker yaitu seperti, Skeletonema, Chaetoceros, dan Thalassiosira. Kemudian beberapa jenis lain yang berpotensi harmful antara lain adalah Navicula, Thalassiotrix, Nitschia, Leptocylindrus, Asterionella, Ceratium, dan Bacteriastrum. Serta jenis lainnya dikategorikan berpotensi toxic diantaranya adalah Alexandrium, Gymnodinium, Dinophysis, dan Scriepsiella. Untuk mengetahui spesies mikroalga yang menjadi “pelaku” HABs perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tidak hanya tentang spesiesnya namun juga terkait dengan faktor penyebab dari HABs tersebut.
Referensi :
Gurning, P., Nuraini, T., Suryono, S. 2020. Kelimpahan Fitoplankton Penyebab Harmful Algal Bloom di Perairan Desa Bedono, Demak. Journal of Marine Research, 9(3): 251-260.
Tambaru, R. 2022. Spesies Fitoplankton yang Berpotensi Merugikan di Bagian Selatan Perairan Pesisir Barat Sulawesi Selatan. Jurnal Agribisnis Perikanan, 15(2): 453-459.
Wardiatno, Y., Damar, A., Sumartono, B. 2004. A Short Review on the Recent Problem of Red Tide in Jakarta Bay: Effect of Red Tide on Fish and Human. Jurnal Ilmu-Ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia, 11(1): 67-71.